Aku Venus. Aku berotasi dengan matahari
sama seperti yang lain. Hanya saja arahku berlawanan. Hal itu juga yang
membuatku terlihat beda dan menjadi lebih keras kepala ketimbang yang lain. Banyak
yang bilang aku ini sebenarnya sangat menarik, hanya saja awan selalu
menyelimuti tubuhku hingga orang tak pernah kenal dengan ku lebih dekat.
Pertama kali aku jatuh cinta aku ya
dengan Mars. Dia berada bersebelahan dengan orang yang tak ku kenal dengan baik
tapi selalu disampingku, Bumi. Aku baru saja mengenalnya dan itu pun tak
sengaja. Warnanya yang kemerah-merahan membuat kesan misterius tetapi maskulin.
Tak gampang ditebak tetapi terlihat meyakinkan. Dia lebih bersahabat dengan
yang lain dibanding aku.
Hampir sebulan kedekatan kami. Tak
membuat semua jauh lebih baik. Aku yang tertutup awan berusaha untuk sedikit
terbuka. Tapi dirinya yang terlihat bersahabat, malah selalu menarik awan gelap
yang akhirnya menutupi dirinya sendiri dariku. Pasca itu, aku sulit melihatnya.
Selain ditutup awan gelap, Bumi temannya ikut juga turut menghalang-halangiku.
“Hei
kau, tolong minggir sedikit. Aku ingin melihat Mars!” teriakku ke Bumi.
Bumi tak menggubris.
Sering kali aku memintanya untuk
minggir. Tapi dia tetap disana dengan wajah innocent. Oh, Bumi tolonglah aku….
Aku bosan mengharapkan Mars. Kegalauan
makin membuatku jauh dengan sekitarnya. Rotasiku yang berlawanan membuat waktu
berjalan semakin lama. Kebosanan ini terus menghinggapi, hingga tetanggaku yang
selama ini bersama, Merkurius, memintaku untuk menjadi teman dekatnya. Aku dan
dia memang sudah dekat sebelumnya. Hanya saja waktu tak pernah mengijinkan kita
bersama.
Aku coba menjalani dengan Merkurius.
Tak banyak yang aku bisa ketahui tentangnya. Yang ku tahu hanya ada satu
pesawat antariksa, Mariner, yang pernah mendekatinya, dan hubungannya menjadi
intim hingga sekarang. Aku pun mengenal Mariner. Kita bersahabat. Hubungannya
dengan Merkurius terhenti ketika Mariner tak tahan dengan sikap pria itu yang
arogan dan angkuh.
Bodohnya, satu kesalahanku. Ketika
Merkurius memintaku untuk berotasi bersamanya, aku mengiya kan. Karena ku kira
Merkurius tahu arah yang benar, ternyata dia bingung dan ingin kembali mencari
Mariner. Aku yang sedang kehilangan arah dan dia yang juga sedang sendiri hanya
berotasi bersama sebentar saja.
Aku tak bisa mengharapkannya. Kembali
aku bergulat dengan diriku. Aku memang beda dari yang lain, tertutup awan. Tapi
yang patut ku syukuri masih ada harapan untuk bertahan karena ada termobakteri
yang masih mau hidup bersamaku.
Aku melirik kearah Bumi. Dia begitu
tenang. Padahal ditubuhnya begitu banyak rasa. Rotasinya pun jelas. Pas, tak
cepat ataupun lambat. Ada kehidupan disana. Aku tak berani menegurnya setelah
beberapa kali menyuruhnya pergi karena menutupi pandanganku ketika ingin
melihat Mars.
Ah, sudahlah! Dia juga tak peduli
denganku, menganggapku ada tau pun tidak, aku tak tahu. Wajahnya begitu datar.
Tiba saat itu, kala aku terdiam sesaat karena lelah akan rutinitasku dia
menegurku.
“Hei,maukah
kau menemaniku?” tawarnya.
Aku
tersentak dan terdiam.
“Mau
tidak?” tawarnya lagi.
“Kemana?”
“Menembus
awan dan melintasi bintang.”
Aku
hanya tersenyum. Lalu berusaha menyusul langkahnya.
Ya…
seperti dugaan ku. Didalam dirinya begitu banyak kehidupan. Aku dan dia memang
beda. Meskipun demikian kami memutuskan untuk berotasi bersama walaupun dia
lebih cepat ketimbang aku yang berjarak tujuh putaran orbit. Ku rasa aku harus
kembali ke bumi untuk dapat melanjutkan hidupku. Bersama dengannya mengelilingi
matahari, sumber kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar