Jumat, 13 Januari 2012

Memainkan peran “Aku”


Tik,tok,tik,tok detik jam dan suara kipas angin menempel di dinding kamar setia menemaniku malam ini. Seharian nyaris tidak ada yang ku kerjakan. Padahal saat ini bukan waktu yang pantas aku diam. Di otakku berbagai ide dan angan ingin menyeruak keluar. Tapi badan seperti enggan menurutinya.
Bukannya malas. Hanya saja saking banyaknya jadi sulit memilih. Aku takut kebiasaan ku meninggalkan setengah angan yang sedang aku rintis untuk menjadi kenyataan terulang. Selalu saja ada pilihan yang membuatku harus meninggalkan semua mimpiku. Katanya mimpiku muluk.
Mulai dari nol lagi setelah setengah berjalan, rasanya sia-sia saja. Aku tak ingin mengidap paham fatalistic. Pasrah menerima segalanya. Terus-terusan mengulang yang sama juga bukan hal yang bagus. Aku seperti keledai saja.
Sebenarnya manusia itu apa? Ketika mereka mempunyai otak untuk berpikir mencari cara agar terbebas dari ketentuan hukum alam, tapi mereka kembali harus di hadapkan dengan sesuatunya yang tak pasti. Ujung-ujungnya harus pasrah juga. Seperti dipermainkan. Aku tak ingin bertengkar dengan Tuhan, karena jelas Dia Maha segalaNya. Aku lelah.

Lagu bilang, dunia ini panggung sandiwara. Klise. Tapi begitu adanya. Memerankan menjadi orang-orang palsu ditengah kepalsuan itulah sebabnya mengapa itu ADIL. Apapun peranmu, pasti akan mempengaruhi eksistensimu. Menjadi figuran sekalipun. Beruntunglah jika kau termasuk yang multitalented. Pasti kau jago berdialog dengan orang lain dan kau takkan tersepak dari panggung ini.
Aku sih sebenarnya senang-senang saja. Selama aku bernapas dan aku tidak terluka sedikitpun, aku mampu melakoninya. Hanya saja aku bosan.
“Tak ubahnya kau itu seperti binatang. Seperti kucing. Meringkuk dipojokan,” ujar wanita tua yang aku temui kemarin ditaman kota.
Rasanya ingin ku cakar saja sekalian wajahnya jika mengingatnya. Enak saja berkata. Waktu itu hujan baru saja selesai turun. Aku berteduh dibawah pintu museum yang terletak di Kota, senin malam.
Suasana cenderung sepi. Sialnya aku berteduh hanya berdua dengan wanita paruh baya itu. Pakaiannya terlihat mencolok untuk seumuran seperti ibuku. Mengenakan legging hitam, dan mini dress berwarna emas. Wajahnya sudah keriput. Rambutnya dijepit keatas memperlihatkan lekuk lehernya. Memakai lipstick merah pekat membuat bibir tipisnya terlihat penuh. Bisa kutebak dia sedang menjadi lonte malam ini.
Bau tanah merebak. Aku suka sekali. Tak ku gubris ucapannya tadi. Aku memang terduduk dipojokan menyender di daun pintu. Apa haknya berkomentar tentang apa yang aku lakukan disini. Malas meladeni wanita gila itu.
“Kucing akan pergi jika hujan sudah berhenti. Pergilah sana, jangan disini,” tambahnya lagi.
“Apa urusanmu?” tanyaku sambil melirik sinis.
“Pergilah kau. Ini sudah malam. Kembalilah kau ke susu ibumu.”
“Apa maksudmu?”
“Lihatlah Guess yang kau pakai, masih nyala kan?!” tatapannya seakan ingin menyambar jam tangan yang ku pakai. “Lihat, sudah jam berapa. Banyak orang-orang yang tadi kau anggap gila ada disini sedang bermain.”
Hah! Dia bisa membaca pikiranku.
“Sayang jika kau terjamah disini, cantik!” kali ini dia mendekatiku.
Aku makin meringkuk dan mendekap lututku rapat-rapat. “Mau apa kau?”
“Kau kurang menjiwai. Harusnya kau bisa lebih. Karaktermu selalu ambigu. Kau sebenarnya ingin jadi siapa?”
Aku mengerutkan dahi.
“Jika kau ingin menjadi protagonist lakukanlah dengan sedikit perlawanan. Atau menjadi antagonis? Maka kau harus jadi kuat dahulu,” kali ini dia membelai rambutku.
Sumpah! Aku takut dan ingin berlari. Tapi badan ini terlanjur dikepung tangannya.
“Lepaskan aku!” teriakku.
“Tenanglah sejenak. Aku ingin mengingat waktu aku menjadi ibu.”
Dekapannya hangat. Bisa ku dengar detak jantungnya. Seperti ini kah ibu? Ibuku tak pernah memelukku seperti ini. Beliau terlalu sibuk menjadi wanita karier.
Makin lama, bau parfumnya membuat aku mual. “Lepaskan!” aku berontak dan berhasil menjauh beberapa meter.
Meskipun cahaya agak redup, aku masih bisa melihat wajahnya yang memelas ketika melihat aku menjauh. Perlahan dia usap wajahnya. Aku rasa dia menangis. Duh, aku jadi tak enak.
Kembali aku dekati. Benar saja dia menangis. “Kenapa kau menangis? Bukan karena aku kan?”
Dia meraih tanganku dan mengajakku duduk dipelataran museum.
Dia menatap lekat diriku. “Aku sama sepertimu, aku manusia dan peran terakhir yang aku pilih menjadi seorang ibu. Jadilah aku, ibu. Mempunyai dua anak dan suami yang sedang dipenjara karena tertangkap menjual sabu.”
“Pagi ibu, dan malam…”
“Menjadi penghibur. Ini pilihan bebasku.”
“Tapi kan ada peran lain yang bagus?”
“Sejauh ini, hanya ini yang bisa aku lakukan. Peran utamaku ya ibu. Tapi karena suamiku tidak ada, aku harus menggantikannya”
“Bukankah melelahkan dan tidak adil ya?”
“Aku tak pernah menyalahkan suamiku. Karena aku tahu dia menjual sabu untuk membiayai hidup keluarga. Hukum alam tidak dapat dikompromi jika kau diam maka kau akan mati. Tapi bisa dihindari untuk sedikit memperpanjang hidupmu.”
Aku terdiam. Menohok sekali ucapannya.
“Kau bukan kucing kan?” tanyanya lagi sambil menepuk punggungku pelan.
“Kau yang kucing. Kau seperti binatang,” kalimat itu terlontar begitu saja.
Dia melotot. Mukanya berubah menjadi merah.
“Hanya hewan yang hidupnya dihabiskan untuk memperpanjang hidup. Tak lebih dari itu,” aku menjadi dosen filsafat.
“Kau masih kecil. Tau apa kau tentang hidup,” suaranya bergetar menahan marah.
“Manusia unik bukan sekedar mekanistik yang kerjanya memperpanjang hidupnya. Alangkah ruginya hidupmu,” aku diatas awan.
“Sok tahu!” dia terkekeh. “Apa kau kira aku tidak bahagia? Apa kau kira aku tidak merasakan sesuatu atas apa yang aku lakukan?”
“Bukan hanya sekedar rasa tapi semangat menjadi yang lebih baik dan berguna,” ucapku sedikit memaksa.
“Aku sedang berusaha bodoh! Aku sedang mempersiapkan anak-anakku menjadi apa yang kau bilang ‘manusia’.”
“Kau itu lucu sekali. Seperti kucing,” aku tertawa. Aku benar-benar seperti orang yang sudah melahap ribuan buku.
Ku pejamkan mataku dan ku paksa untuk kembali terbuka. Pusing aku berusaha mengingat kejadian kemarin. Aku berganti posisi menjadi terduduk di pinggir ranjang. Kamarku berantakan penuh kertas tugas kuliah yang belum ku selesaikan. Termasuk menyelesaikan tugas skenario apa yang akan ku mainkan esok hari saat bertemu mereka-mereka.
                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar