Bukan hanya aku saja yang berdiam meneduh disitu. Ada sekitar 15
orang lain ikutan berdesak ketengah halte agar tak basah. Rata-rata mereka
masih berpakaian rapih sepertinya baru saja pulang kerja. Lalu lintas didepanku
lambat laun juga menjadi padat. Selain karena hujan sehingga pengendara
kendaraan bermotor harus mengurangi kecepatannya, tapi juga karena salah kami
yang berteduh memakirkan sembarangan kendaraan kami.
Yang berteduh makin lama semakin banyak. Sehingga aku terhimpit
ke pinggir. Aku benar-benar kesal. Aku lupa membawa jas hujan sementara aku
harus segera membawa surat penting yang tak boleh basah. Bapak botak
disampingku innocent sekali, badannya besar terus bergerak menggeserku. Tak
menoleh sedikitpun.
Yang lain terus menggerutu. Ibu berparas chinese sibuk
membereskan plastik bawaannya. Yang perokok sudah menyembulkan asapnya ke
udara. Yang diam sambil menoleh kanan-kiri sepertiku juga banyak. Semua rusuh
dengan kesibukan masing-masing ditengah himpitan yang terus mengarahkanku ke
arah selokan. Makin banyak bergerak makin aku cepat masuk kedalamnya. Semua
sibuk taapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Ah… hujan. Bagaimana ini… pandanganku beralih menuju gedung-gedung yang ada diseberangku. Dibawahnya berjejer orang-orang berhimpit masuk ke teras toko menyelamatkan tubuhnya agar tak terkena air. Hahaha seperti kucing saja kita takut air, aku mentertawakan diriku sendiri.
Tiba-tiba satu orang
berlari ke kerumunan kami. Meringsek masuk. Ah, sial!!! Aku kehilangan
keseimbangan. Bapak innocent tadi meraih tanganku agar aku tak jatuh. “Haduh,
neng maaf ya!” kali ini dia bicara.
“Iya,pak! Haduh kalau terus begini saya bisa nyusruk ke got,”
kataku.
Si Bapak kembali diam. Aku yakin selepas pria gila tadi
meringsek masuk pasti semua orang mengutuknya termasuk aku. Apa jadinya jika
naskah yang aku pegang ini ikut tercebur masuk dalam saluran air berbau busuk
itu.
Hening kembali.
15 menit tak ada yang bergeming. Hanya satu orang saja yang tak
tahan akhirnya memilih menerobos hujan dan kemacetan.
Semua bergelut dengan pikiran dan kepentingannya. Lama-lama aku
merasa lelah dan stress. Tanpa sadar aku terbawa suasana menikmati saja tiap
tetes hujan yang jatuh. Sepertinya air itu lembut. Kalau didengar seksama
seperti dentingan suara harmoni yang indah. Anggap saja seperti itu. Tiba-tiba
saja aku merasa rileks.
Seharian berkerja kesana-kemari hanya hujan yang berhasil
membuatku terdiam sejenak. Merasakan bau tanah dan daun yang segar terkena air.
Meskipun dalam keadaan terhimpit.
Teduh. Ya, kata itu memang tepat jika diartikan dengan sebuah ketenangan. Pekerja-pekerja sibuk di Jakarta yang ada disebelahku ini bisa
dikatakan “beristirahat” atau diam terpaksa ya? Entahlah, tapi setidaknya tidak
melakukan sesuatu yang rutin. Hanya hujan pikirku yang membuat kita terdiam dan
bisa sedikit bernapas ditengah hiruk pikuk kota yang tak mengenal sedikitpun
“alasan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar