Sabtu, 14 Januari 2012

Teduh

Sore itu aku terhenti dihalte bus roxy. Hujan turun disertai petir yang terus berdegum kencang. Aku memakirkan motorku sembarangan disisi kiri jalan tak jauh dari halte. Sudahlah yang penting masih bisa terlihat,pikirku.

Bukan hanya aku saja yang berdiam meneduh disitu. Ada sekitar 15 orang lain ikutan berdesak ketengah halte agar tak basah. Rata-rata mereka masih berpakaian rapih sepertinya baru saja pulang kerja. Lalu lintas didepanku lambat laun juga menjadi padat. Selain karena hujan sehingga pengendara kendaraan bermotor harus mengurangi kecepatannya, tapi juga karena salah kami yang berteduh memakirkan sembarangan kendaraan kami.

Yang berteduh makin lama semakin banyak. Sehingga aku terhimpit ke pinggir. Aku benar-benar kesal. Aku lupa membawa jas hujan sementara aku harus segera membawa surat penting yang tak boleh basah. Bapak botak disampingku innocent sekali, badannya besar terus bergerak menggeserku. Tak menoleh sedikitpun.

Yang lain terus menggerutu. Ibu berparas chinese sibuk membereskan plastik bawaannya. Yang perokok sudah menyembulkan asapnya ke udara. Yang diam sambil menoleh kanan-kiri sepertiku juga banyak. Semua rusuh dengan kesibukan masing-masing ditengah himpitan yang terus mengarahkanku ke arah selokan. Makin banyak bergerak makin aku cepat masuk kedalamnya. Semua sibuk taapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.


Ah… hujan. Bagaimana ini… pandanganku beralih menuju gedung-gedung yang ada diseberangku. Dibawahnya berjejer orang-orang berhimpit masuk ke teras toko menyelamatkan tubuhnya agar tak terkena air. Hahaha seperti kucing saja kita takut air, aku mentertawakan diriku sendiri.

Tiba-tiba  satu orang berlari ke kerumunan kami. Meringsek masuk. Ah, sial!!! Aku kehilangan keseimbangan. Bapak innocent tadi meraih tanganku agar aku tak jatuh. “Haduh, neng maaf ya!” kali ini dia bicara.

“Iya,pak! Haduh kalau terus begini saya bisa nyusruk ke got,” kataku.
Si Bapak kembali diam. Aku yakin selepas pria gila tadi meringsek masuk pasti semua orang mengutuknya termasuk aku. Apa jadinya jika naskah yang aku pegang ini ikut tercebur masuk dalam saluran air berbau busuk itu.
Hening kembali.

15 menit tak ada yang bergeming. Hanya satu orang saja yang tak tahan akhirnya memilih menerobos hujan dan kemacetan.

Semua bergelut dengan pikiran dan kepentingannya. Lama-lama aku merasa lelah dan stress. Tanpa sadar aku terbawa suasana menikmati saja tiap tetes hujan yang jatuh. Sepertinya air itu lembut. Kalau didengar seksama seperti dentingan suara harmoni yang indah. Anggap saja seperti itu. Tiba-tiba saja aku merasa rileks.

Seharian berkerja kesana-kemari hanya hujan yang berhasil membuatku terdiam sejenak. Merasakan bau tanah dan daun yang segar terkena air. Meskipun dalam keadaan terhimpit. 

Teduh. Ya, kata itu memang tepat jika diartikan dengan sebuah ketenangan. Pekerja-pekerja sibuk di Jakarta yang ada disebelahku ini bisa dikatakan “beristirahat” atau diam terpaksa ya? Entahlah, tapi setidaknya tidak melakukan sesuatu yang rutin. Hanya hujan pikirku yang membuat kita terdiam dan bisa sedikit bernapas ditengah hiruk pikuk kota yang tak mengenal sedikitpun “alasan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar