“Apa kabarmu?” ujarnya
dikeheningan malam saat turun hujan. Hanya tinggal kami berdua disalah satu
restoran cepat saji 24 jam saat ini.
“Ceritakan padaku tentangmu saat
ini?”
Aku hanya terkekeh. Dari dua jam
yang lalu kami mengobrol ngalor ngidul
tentang masa-masa sekolah dulu. Kini dia mengalihkan pembicaraan kami.
“Aku ya begini-begini saja. Ya…
seperti ini,” aku melihat diriku sendiri.
“Berapa orang yang dekat denganmu
selepas dari aku?”
Aku mengerutkan dahi.
Dia mungkin menyadari pertanyaannya
yang membuatku sedikit bingung, lalu pandangannya menerawang ke kaca yang sudah
dipenuhi rintik air.
“Apakah kau bahagia?”
“Entahlah…” jawabku pasrah. “Aku
baru saja berpisah dengan tunanganku kemarin,” tambahku sambil menghela napas
panjang.
“Aku tau itu. Kamu tidak pernah
berubah. Pasti kau terlalu overprotective.
Aku tak menyalahkan tunanganmu untuk masalah ini.”
“Berarti kau menyalahkan aku?”
“Tidak juga.”
“Kau sendiri bagaimana?”
Dia mengangkat bahu. “Tak ada
yang seperti mu.”
“Manusia tak kan ada yang sama.”
“Ya… dan sempat terpikir oleh ku
barusan untuk mendapatkanmu kembali.”
“Kau gila. Lusa kau akan
menikah,” aku menyenderkan tubuh ke bangku.
“Perjodohan itu yang membuatku
gila.”