“Apa kabarmu?” ujarnya
dikeheningan malam saat turun hujan. Hanya tinggal kami berdua disalah satu
restoran cepat saji 24 jam saat ini.
“Ceritakan padaku tentangmu saat
ini?”
Aku hanya terkekeh. Dari dua jam
yang lalu kami mengobrol ngalor ngidul
tentang masa-masa sekolah dulu. Kini dia mengalihkan pembicaraan kami.
“Aku ya begini-begini saja. Ya…
seperti ini,” aku melihat diriku sendiri.
“Berapa orang yang dekat denganmu
selepas dari aku?”
Aku mengerutkan dahi.
Dia mungkin menyadari pertanyaannya
yang membuatku sedikit bingung, lalu pandangannya menerawang ke kaca yang sudah
dipenuhi rintik air.
“Apakah kau bahagia?”
“Entahlah…” jawabku pasrah. “Aku
baru saja berpisah dengan tunanganku kemarin,” tambahku sambil menghela napas
panjang.
“Aku tau itu. Kamu tidak pernah
berubah. Pasti kau terlalu overprotective.
Aku tak menyalahkan tunanganmu untuk masalah ini.”
“Berarti kau menyalahkan aku?”
“Tidak juga.”
“Kau sendiri bagaimana?”
Dia mengangkat bahu. “Tak ada
yang seperti mu.”
“Manusia tak kan ada yang sama.”
“Ya… dan sempat terpikir oleh ku
barusan untuk mendapatkanmu kembali.”
“Kau gila. Lusa kau akan
menikah,” aku menyenderkan tubuh ke bangku.
“Meskipun kembali tetap saja kita
tak akan seperti dulu, yakin aku,” tegasku cuek.
“Iya, itu karena sifat keras
kepalamu yang tak pernah memberi kesempatan kedua untuk orang lain,” tukasnya.
“Bagiku kembali lagi ke mantan
itu, seperti siap kembali menggali lubang yang sama agar kau terjembab masuk
kembali ke kehidupan yang sama. Karena sisanya kau akan kembali mengulang
apa-apa saja yang biasa dilakukan termasuk dengan perasaan,” belaku. “It’s just romantisme masa lalu yang
sempat terputus dan kau ingin merajutnya kembali. Gak lebih dari rasa penasaran
karena desperate dengan keinginanmu
waktu kau putuskan aku, dan kau berharap dapat yang lebih baik tapi ternyata
tidak.”
Dia menenggak habis sisa
minumannya dan meremas gelas plastiknya. “Entah apa yang ada diotakmu. Egois
sekali. Tuhan saja bisa memaafkan!”
“Bukan itu maksudku…”
“Lalu apa?”
“Bukan jawabannya jika kita harus
kembali menjadi sepasang kekasih setelah kita mencari kebahagian selepas kita
berpisah. Bukankah berarti hubungan kita juga telah gagal. Bagiku kita harus
tetap mencari, bukannya kembali,” aku tak berani menatap matanya.
Pria didepanku terduduk lemas.
“Jika kita jatuh cinta lagi pasti
kita tak akan seperti dulu. Tetapi itu akan lain ceritanya kalau saja…” ucapku
mengambang.
Dia membenarkan posisinya ke
posisi tegap, menyimak betul apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Kalau
saja…” dia mengulang ucapan terakhirku.
“Kalau saja, kau bukan mencari
aku yang seperti dahulu,” aku menggigit bibirku. Jantungku berubah berdetak
lebih kencang. Ini gila, aku tak sadar kata itu terlontar begitu saja.
“Aku tak mengerti.”
“Kisah itu sudah enam tahun yang
lalu. It’s impossible kalau setiap orang tidak berubah dalam jangka
waktu sepanjang itu. Jika kau mencari aku yang dahulu tentu saja itu tidak akan
ada termasuk pada diriku sendiri.”
Tiba-tiba dia tergelak dan tertawa
puas. “Baiklah… aku… aku mengalah saja,” ucapnya terbata.
“Begitu lebih baik. Aku pun tak
sudi menjadi biang keladi jika pernikahanmu gagal esok hari,” kataku.
Hujan sudah berhenti. Dia berdiri
dari tempatnya duduk. “Tapi aku ingin kau tau, cinta ini masih sama seperti
yang dulu. Kepadanya yang ku kenal dulu.”
Dia berlalu. Oh, Tuhan! Tubuh ini
terpaku. Cinta ini pun ingin mengerjarnya, tapi sayangnya terperangkap dengan
‘aku’ yang beda. Tolong maafkan aku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar