Kamis, 09 Februari 2012

#untitled


“Apa kabarmu?” ujarnya dikeheningan malam saat turun hujan. Hanya tinggal kami berdua disalah satu restoran cepat saji 24 jam saat ini.
“Ceritakan padaku tentangmu saat ini?”
Aku hanya terkekeh. Dari dua jam yang lalu kami mengobrol ngalor ngidul tentang masa-masa sekolah dulu. Kini dia mengalihkan pembicaraan kami.
“Aku ya begini-begini saja. Ya… seperti ini,” aku melihat diriku sendiri.
“Berapa orang yang dekat denganmu selepas dari aku?”
Aku mengerutkan dahi.
Dia mungkin menyadari pertanyaannya yang membuatku sedikit bingung, lalu pandangannya menerawang ke kaca yang sudah dipenuhi rintik air.
“Apakah kau bahagia?”
“Entahlah…” jawabku pasrah. “Aku baru saja berpisah dengan tunanganku kemarin,” tambahku sambil menghela napas panjang.
“Aku tau itu. Kamu tidak pernah berubah. Pasti kau terlalu overprotective. Aku tak menyalahkan tunanganmu untuk masalah ini.”
“Berarti kau menyalahkan aku?”
“Tidak juga.”
“Kau sendiri bagaimana?”
Dia mengangkat bahu. “Tak ada yang seperti mu.”
“Manusia tak kan ada yang sama.”
“Ya… dan sempat terpikir oleh ku barusan untuk mendapatkanmu kembali.”
“Kau gila. Lusa kau akan menikah,” aku menyenderkan tubuh ke bangku.
“Perjodohan itu yang membuatku gila.”
“Meskipun kembali tetap saja kita tak akan seperti dulu, yakin aku,” tegasku cuek.
“Iya, itu karena sifat keras kepalamu yang tak pernah memberi kesempatan kedua untuk orang lain,” tukasnya.
“Bagiku kembali lagi ke mantan itu, seperti siap kembali menggali lubang yang sama agar kau terjembab masuk kembali ke kehidupan yang sama. Karena sisanya kau akan kembali mengulang apa-apa saja yang biasa dilakukan termasuk dengan perasaan,” belaku. “It’s just romantisme masa lalu yang sempat terputus dan kau ingin merajutnya kembali. Gak lebih dari rasa penasaran karena desperate dengan keinginanmu waktu kau putuskan aku, dan kau berharap dapat yang lebih baik tapi ternyata tidak.”
Dia menenggak habis sisa minumannya dan meremas gelas plastiknya. “Entah apa yang ada diotakmu. Egois sekali. Tuhan saja bisa memaafkan!”
“Bukan itu maksudku…”
“Lalu apa?”
“Bukan jawabannya jika kita harus kembali menjadi sepasang kekasih setelah kita mencari kebahagian selepas kita berpisah. Bukankah berarti hubungan kita juga telah gagal. Bagiku kita harus tetap mencari, bukannya kembali,” aku tak berani menatap matanya.
Pria didepanku terduduk lemas.
“Jika kita jatuh cinta lagi pasti kita tak akan seperti dulu. Tetapi itu akan lain ceritanya kalau saja…” ucapku mengambang.
Dia membenarkan posisinya ke posisi tegap, menyimak betul apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Kalau saja…” dia mengulang ucapan terakhirku.
“Kalau saja, kau bukan mencari aku yang seperti dahulu,” aku menggigit bibirku. Jantungku berubah berdetak lebih kencang. Ini gila, aku tak sadar kata itu terlontar begitu saja.
“Aku tak mengerti.”
“Kisah itu sudah enam tahun yang lalu. It’s impossible  kalau setiap orang tidak berubah dalam jangka waktu sepanjang itu. Jika kau mencari aku yang dahulu tentu saja itu tidak akan ada termasuk pada diriku sendiri.”
Tiba-tiba dia tergelak dan tertawa puas. “Baiklah… aku… aku mengalah saja,” ucapnya terbata.
“Begitu lebih baik. Aku pun tak sudi menjadi biang keladi jika pernikahanmu gagal esok hari,” kataku.
Hujan sudah berhenti. Dia berdiri dari tempatnya duduk. “Tapi aku ingin kau tau, cinta ini masih sama seperti yang dulu. Kepadanya yang ku kenal dulu.”
Dia berlalu. Oh, Tuhan! Tubuh ini terpaku. Cinta ini pun ingin mengerjarnya, tapi sayangnya terperangkap dengan ‘aku’ yang beda. Tolong maafkan aku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar