Kamis, 17 Oktober 2013

Jadi Bu Guru

Masuk ke ex IKIP ini apa karena aku ingin menjadi guru? Dibilang bukan sih tidak juga. Lebih tepatnya karena ibuku yang menginginkannya. Mungkin diakhir kewajibannya menyekolahkanku, beliau ingin satu anaknya yang menjadi seorang guru. Ya, hanya guru yang mengajar lalu bisa pulang cepat katanya. 
Tidak salah memang keiinginannya itu. keinginan itu terinspirasi dari adiknya Mbahku yang menjadi guru pegawai negeri sipil di desa kecil daerah Boyolali.
Sekitar 15 tahun lalu, waktu itu, aku berkunjung ke rumah beliau. Mbahku mengajar SD. Beliau berangkat sesukanya karena jarak rumah dan sekolahnya hanya 15 meter. Sebelum berangkat, beliau memasak dulu untuk kami. Masuk mungkin jam 7 lewat. Aku iseng ikut ke sekolah bersama Mbahku dan sepupuku yang masih kelas 4 SD.
Senangnya menjadi anak “kota” ke desa itu ketika kita tiba-tiba menjadi populer diantara anak-anak seusiaku di sana ;p . Teman-teman sepupuku mengajak aku bermain bersama. Aku selalu didahulukan. Menjadi penting. Nah, saat aku tiba di sekolah, aku hanya duduk-duduk di ruang guru. Guru-guru menanyaiku macam-macam pertanyaan. Aku hanya bisa senyum-senyum. Maklumlah Mbahku yang perempuan ini termasuk yang paling lama dan dihormati.
Sungguh heran, aku ingat itu masih jam 9 pagi, sepupuku dipanggil ke ruang guru. Mbahku menyuruhnya untuk segera pulang dan bilang ke kakak perempuanku yang tinggal bersama mereka untuk memasak air. Cuma karena disuruh menyampaikan hal itu sepupuku bolos pulang ke rumah. Aku diajaknya pulang juga. Tidak lama Mbahku pun menyusul. Memasak lagi. Bercengkrama sebentar lalu ke sekolah lagi. Itulah inspirasi yang selalu diyakini oleh ibuku bahwa semua guru itu ya yang begitu.
Bekerja tapi bisa sambil mengurus rumah, mungkin itu maksud keiinginan mulia ibu. Aku juga ingin mengamininya itu akan tertular pada nasibku. Tapi semua tak semanis niatan ibu menuntun anaknya. Dari situlah semua bermula...
Tadinya aku sudah putus asa tidak ingin kuliah karena gagal UMB, aku inginnya bekerja. Toh, keputusanku seharusnya benar karena aku sudah diterima di salah satu radio di Jakarta untuk menjadi seorang penyiar. Ahh, itu cita-cita yang terunda. Ibu kekeh agar aku segera kuliah. Kesempatan itu ya cuma dibuka di kampus exIKIP ini. Cita-cita ibu terkabul…
Sayang semua tak semulus harapannya, aku salah jurusan dan akhirnya membuatku lama di kampus. Jurusan bahasa Jepang. Aku sih enggak terlalu suka dengan jurusan ini. Dan sekarang disuruh untuk suka beneran, oh itu menyiksaku. Betapa sulitnya belajar bahasa ini. Di exIKIP kami belajar tentang pendidikan. Itulah yang menyalamatkan nilaiku. Hampir semua nilai kependidikanku A. Itu saja yang menyakiniku untuk bertahan di sini selain menjadi guru untuk membahagiakan ibu.
Tibalah di semester akhir, aku akhirnya praktek menjadi calon guru. Mengajar di STM dengan murid dominan laki-laki membuatku agak kewalahan. Belum lagi sikap-sikap beberapa guru yang sepertinya sengaja “mengerjai” kami. Selain itu kami selalu menjadi bahan perhatian. Sikap dan tingkah laku selalu saja salah. Benar pun tak masuk hitungan. Anak-anak muridku lah yang selalu membuatku melupakan sejenak hal itu. Melihat tingkah anak ABG ini memang lucu. Ada-ada saja kelakuannya :)
Jujur saja, membangun keakraban dan memutus pola guru yang selalu benar dan ditakuti siswa tidak mudah. Salah-salah mereka malah berbuat kurang ajar, serba salah. Mengatur mereka untuk fokus dijam-jam akhir membuatku kewalahan. Begitu banyak hal yang harus dilakukan. tak semudah teori di kampus. Dari susahnya membuat soal, RPP,  silabus, menyediakan media. Dan yang puncaknya, ternyata mengajar sendiri itu sangat susah. Itu semua jauh sekali dari apa yang aku bayangkan tentang kehidupan Mbahku. Boro-boro pulang untuk memasak, bangun pagi sempat minum air saja sudah bersyukur. 
Ibu-ibu guru PNS di sekolah selalu mengeluh, tidak sempatnya mereka mengurus keluarganya di rumah. Akhirnya timbul kekhawatiran bahwa anak seorang guru bisa saja tidak lagi pintar malah yang paling bodoh. Karena ibu-ibu guru ini tak mengajari anaknya di rumah. Mengajari dalam hal ini bukan hanya soal pelajaran sekolah namun juga tentang sikap dan hidup. Mereka terlalu sibik mengurusi anak orang lain. Sungguh ironi!
Waktu masih SD sempat terlintas ingin menjadi guru. Tapi itupun karena hal sepele. Aku cuma ingin di panggil “Bu guru, bu guru!” hehe. Sekarang aku sudah dipanggil seperti itu. Tapi terkadang ada rasa malu jika aku belum bisa memberikan kepada siswa ilmu yang banyak dan bermanfaat. Panggilan “Bu guru” ternyata begitu sakral. Sangat bermakna. Merinding setiap mendengar siswa yang memanggil seperti itu. Terasa punya "hutang" untuk terus mengajarinya hingga mereka pandai.
Kekhawatiran mengenai hal itu sedikit menghilang. Misalnya, ketika sehabis ujian mereka bertanya apakah jawaban mereka benar atau tidak jika menjawab A. Timbul diraut wajah mereka khawatir jawabannya salah, dan ketika kubilang benar mere bersorak-sorai "yes, gue bener!" sepele namun berarti. Atau sekadar sebuah sapaan dan candaan menggunakan bahasa Jepang, tulisan acak-acakan anak-anak yang malah membuatku tertawa bahagia. Aku tau mereka sudah berusaha. Adalagi siswa yang mengeluh teriak-teriak tidak sanggup mengisi ujian tapi anehnya malah dia yang paling semangat berpikir dan focus, lalu nilainya bagus. Inilah yang membuatku selalu semangat ke sekolah.

Pelajaran yang paling berharga adalah ketika aku mendapati siswa yang “spesial”. Begitulah guru-guru memberinya julukan. Anak itu sangat pintar. Jujur. Tidak pernah menyotek. Hanya saja karena dia “spesial” ada saja temannya yang tidak menginginkannya saat berkelompok. Mereka selalu mengeluh temannya itu membuat susah katanya.
Aku selalu menyuruhnya ke depan menulis hiragana, tapi tangannya selalu gemetar. Meski terdiam lama di depan papan tulis tapi jawabannya selalu benar. Begitu pula saat ujian. Dia juga selalu berhenti mengerjakan di tengah-tengah jam ujian saat tangannya sudah basah dan mukanya terlihat pusing. Pesan guru-guru lain moodnya harus terus dijaga, kalau tidak dia bisa mengamuk dan keluar.
Pernah sekali aku membuatnya kecewa dan merasa bersalah. Ketika aku mengajak anak-anak membuat origami bangau. Aku terlalu cepat memberi instrukisi cara melipat kertasnya. Dia tertinggal jauh dari yang lain. Lalu terdiam di bangku belakang dan hanya melihat kertas lipatnya yang berbentuk tak keruan. Aku segera meninggalkan yang lain ketika punya mereka sudah selesai dan sibuk menulis harapannya di kertas. Kuhampiri anak itu dan mememinta maaf. Sebenarnya aku sudah memberikan origami yang sudah kubuat sebagai hadiah supaya dia bisa "mengejar" temannya yang lain. Tapi tak diduga dia hanya menggeletakkan origami buatanku. Aku salah lagi.
Kembali kudekati dia dan mulai mengajarinya pelan-pelan. Tapi aku lagi-lagi berbuat hal bodoh. Aku mendominasi pekerjaan itu dengan melipat kertasnya dengan tanganku. Dia menampakan wajah kesal. Oh…. Maaf. Aku berikan kertas itu lagi untuk dilipatnya kembali. Setelah selesai wajahnya sedikit berubah. Ada raut senang. Aku memintanya untuk menulis harapan dan bergabung dengan temannya yang lain untuk memamerkan hasil karyanya dan dipajang. Tapi dia masih terduduk dibangkunya. Mungkin dia masih berpikir, aku tak ingin memaksanya maka kutinggalkan dia.
Pengalaman pertama mengajar kelas besar dan mendapati satu siswa yang demikian membuatku kembali berpikir, aku tidak ada apa-apanya. Semoga kelak menjadi orang sukses, nak! Doaku setiap mengajarnya..
Rasanya ingin terus mengajar seperti ini. Tapi apa daya, belum juga lulus terbitlah kurikulum baru yang mengurangi pembelajaran bahasa asing. Bahkan ditiadakan pun sah-sah saja menurut pemerintah. Ini gila! Mungkin tetap ada jika sekolah merasa perlu. Tapi sepertinya kebanyakan sekolah memilih untuk meniadakannya. Contohnya, nasib bahasa Jepang di sekolah ini. Ini adalah tahun terakhir dibukanya mata pelajaran ini. Nasib kami terkatung-katung akan menjadi apa kami setelah lulus. Bagaimana dengan harapan ibu? apa yang akan kujelaskan padanya.
Mungkin doaku sedikit aneh, tapi aku berharap masih berlangsung kebiasaan setiap pergantian pemerintahan pada pemilu tahun depan. Ganti menteri ganti kebijakan, amin.. J agar kami lulusan bahasa asing tetap bisa menjadi “Bu guru”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar