Jumat, 13 April 2012

Menggema di hati “Gema Sebuah Hati” karya Marga T


Saya dulu hanya mengenal Marga T sebagai salah satu penulis yang terkenal waktu SD dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saya juga belum menemukan karyanya di sekolah atau pun di tempat lainnya. Sekilas coba iseng-iseng searching buku-buku baru, saya langsung jatuh hati dengan buku ini, “Gema sebuah hati” cetakan kesepuluh karya Marga T, bercerita romansa kehidupan dari kacamata kaum muda tionghoa di Ibukota menjelang dan pasca G30S.  Ditambah covernya yang kekinian membuat saya tak ragu untuk menjadikannya koleksi pertama Marga T di rak buku saya. (Jujur saya memang selalu melihat buku from the cover, meski saya akan tetap membaca resumenya sebelum membeli. Entahlah, kadang bungkus itu penting juga untuk membuat kesan pertama begitu menggoda hehe). 


Baiklah, saya akan mulai sedikit mengulas apa isi bukunya. Monik, menjadi tokoh utama di novel ini. gadis keturunan tionghoa yang merantau ke Jakarta untuk merajut mimpinya menjadi dokter di Res Publica (sekarang Trisakti). Sebagai angkatan pertama kedokteran, monik dan teman-teman seangkatannya mencoba untuk membangun jurusannya menjadi yang terbaik. Maklum, ternyata dilatar belakang waktu 65’an mungkin jauh sebelumnya juga pakem universitas negeri selalu yang terbaik memang sudah terpatri di otak masyarakat. (Oh, ya… jangan heran setelah membaca buku ini kita akan merasa seperti dokter karena ulasan tentang ilmu-ilmu kedokteran juga banyak dibahas)

Marga T juga berhasil membangun kehidupan masyarakat yang sulit saat BBM naik diera pemerintahan rezim tersebut. Bagaimana paham kiri menjadi dominan yang harus di amini masyarakat agar hidupnya aman dan tentram. Kalau kaum muda sekarang bebas memakai merk-merk barat, bebas ke klub, dansa, nonton flim dan membaca buku asal barat, Monik dan teman-temannya hanya berkutat dengan barang-barang pemberian pemerintah. Bahkan buku-buku kuliah sulit didapat. Era politik tertutup yang diberlakukan menjadi bomerang sendiri bagi rakyat pada saat itu yang serba kekurangan.

Minggu, 01 April 2012

Diam


Kadang saya diam.

Diam bosan.

Bosan akut.

Akut yang sudah terpatri.

Terpatri meski meronta.

Meronta ingin berkata.

Kata ‘kecil’ dari ‘mulut yang lebar’.

Mengendalikan ‘harimau’ lebih sulit.

Makanya aku DIAM.

kuburan pengharapan


"Siap dikubur?" tanya seseorang berpakaian hitam-hitam. Ditangannya terselip sebuah sekop panjang. Didepannya terdapat gundukan tanah merah bekas galiannya sendiri.
Aku mengangguk dengan muka tertutup tangan. Rasanya tak sanggup kehilangannya.
Orang-orang di sekelilingku kembali menasehati, "sebaiknya dikubur, sebelum org itu menyadari dan kau akan tersakiti.”
Aku mengangguk sekali lagi.  Tapi kali ini ketakutan menyelimuti sebagian hatiku. Tetap tak berani melihat.