Saya dulu
hanya mengenal Marga T sebagai salah satu penulis yang terkenal waktu SD dalam
buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saya juga belum menemukan karyanya di sekolah
atau pun di tempat lainnya. Sekilas coba iseng-iseng searching buku-buku baru, saya langsung jatuh hati dengan buku ini,
“Gema sebuah hati” cetakan kesepuluh karya Marga T, bercerita romansa kehidupan
dari kacamata kaum muda tionghoa di Ibukota menjelang dan pasca G30S. Ditambah covernya yang kekinian membuat saya
tak ragu untuk menjadikannya koleksi pertama Marga T di rak buku saya. (Jujur saya memang selalu melihat buku from the
cover, meski saya akan tetap membaca resumenya sebelum membeli. Entahlah,
kadang bungkus itu penting juga untuk membuat kesan pertama begitu menggoda
hehe).
Baiklah, saya akan mulai sedikit mengulas apa isi bukunya. Monik, menjadi tokoh utama di novel ini. gadis keturunan tionghoa yang merantau ke Jakarta untuk merajut mimpinya menjadi dokter di Res Publica (sekarang Trisakti). Sebagai angkatan pertama kedokteran, monik dan teman-teman seangkatannya mencoba untuk membangun jurusannya menjadi yang terbaik. Maklum, ternyata dilatar belakang waktu 65’an mungkin jauh sebelumnya juga pakem universitas negeri selalu yang terbaik memang sudah terpatri di otak masyarakat. (Oh, ya… jangan heran setelah membaca buku ini kita akan merasa seperti dokter karena ulasan tentang ilmu-ilmu kedokteran juga banyak dibahas)
Marga T
juga berhasil membangun kehidupan masyarakat yang sulit saat BBM naik diera
pemerintahan rezim tersebut. Bagaimana paham kiri menjadi dominan yang harus di
amini masyarakat agar hidupnya aman dan tentram. Kalau kaum muda sekarang bebas
memakai merk-merk barat, bebas ke klub, dansa, nonton flim dan membaca buku
asal barat, Monik dan teman-temannya hanya berkutat dengan barang-barang
pemberian pemerintah. Bahkan buku-buku kuliah sulit didapat. Era politik
tertutup yang diberlakukan menjadi bomerang sendiri bagi rakyat pada saat itu
yang serba kekurangan.
Perang ideologi
di kampus cukup kental diejawantahkan penulis dengan fasih. Organisasi politik
kampus beraliran kiri menjadi ‘raja’ saat itu sebagai anak kesayangan
pemerintah. Bahkan Res Publica menjadi sarang tetap pemerintahan lewat
mahasiswanya dan mendapat kemudahan oleh pemerintah, lewat bayaran kuliah yang
murah dan fasilitas canggih sama dengan universitas negeri. Tak heran, saat
penggulingan Sukarno berlangsung, Res Publica ikutan hangus terbakar habis. Disinilah
awal mula kehidupan menjadi super sulit untuk Monik bertahan dan bingung
mencari jati dirinya ketika kampus tempatnya menaruh harapan habis tak bersisa.
Saya cukup
terheran-heran setiap membaca lembar per lembar. Membuat ketagihan dengan
ulasan sejarah pada waktu itu. Penulis sukses membuat perasaan saya naik turun
dengan setiap detail cerita. Gejolak masa ini akan Anda temui hingga akhir
halaman. Bumbu-bumbu cinta turut juga terselip diantaranya.
Setelah ini
akan bersambung ke “Sekuntum Edelwiss” dan menjadi koleksi Marga T selanjutnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar